Senin, 27 Maret 2017

suara berita tabloid media Nasional Gerakan Anak Indonesia bersatu Bulukumba Sulawesi Selatan



ESAI, A. Burhanuddin U. Paolai – Kajang  adalah suku nusantara yang mendiami wilayah Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan yang masih kukuh mempertahankan tradisi turun – temurun. Suku ini adalah salah satu suku yang paling ditakuti di dunia karena kemampuan sihirnya yang disebut “Doti”, yakni semacam ilmu santet paling mematikan yang bisa dikirim dari jarak jauh tanpa diketahui.

Dalam hal sihir, selain Kajang, dikenal 5 suku lain di dunia yang memiliki ilmu sihir mengagumkan sekaligus menakutkan. Suku – suku tersebut adalah :

Suku Maya
Berdiam di wilayah semenanjung Yucatan (Amerika Tengah). Suku ini memiliki keampuhan sistem kalender ( nujum ), sihir mematikan,  dan memiliki kemampuan memanggil hujan serta mengendalikan cuaca melalui ritual.

 

Suku Masaai
Suku ini hidup nomaden antara Kenya dan Tanzania. Dikenal memiliki ilmu kaki angin sehingga mampu berlari sangat cepat laksana terbang,  memiliki kekebalan ( imun ) dan kepiawaian bertempur.

 

Suku Gipsi
Suku ini memiliki kekuatan sihir yang disebut “Lamia” yaitu ilmu mengirim rasa sakit luar biasa yang menyerang bagian vital.

 

 

Suku Indian (penduduk asli Amerika).
Suku Indian memiliki sihir yang disebut “Namunda” yakni ilmu sihir yang bisa melenyapkan sesorang tanpa jejak.

 

 

Suku Kikuyu
Suku ini mendiami daratan Afrika dan terkenal memiliki tarian mistis, ilmu memanggil penyakit dan hujan serta memilki kehebatan mengirim santet.

 

 

Kajang selain terkenal dengan Doti,  yang menarik dari suku ini adalah sistem peradilannya. Meskipun kepala suku Kajang yang disebut Ammatoa merupakan rujukan dari seluruh kebijakan adat suku Kajang, termasuk dalam masalah hukum dan peradilan tapi dalam tradisi hukum dan peradilan di Kajang juga dikenal adanya proses banding jika ada pihak yang berperkara tidak merasa puas pada tahap penyelesaian hukum “A’borong” (duduk bersama/bermusyawarah) dimana Ammatoa selaku kepala suku adalah hakim tunggal yang akan memutus perkara.

Apabila dalam A’borong ( Judicial institution ) ada pihak yang berperkara belum merasa puas, maka bisa banding ke tahap peradilan tinggi yang disebut Pattunuang Passau’(Supreme Court = Mahkamah Agung) dimana Yang Maha Agung (To RiE Ara’na) yang bertindak langsung sebagai hakim dan menunjukkan keputusan (Nya) melalui linggis yang  telah dibakar hingga merah menyala.

Pihak – pihak yang berperkara, terduga pelaku pelanggaran hukum atau semua orang (patut di curigai) harus memegang linggis dalam keadaan merah menyala yang sudah pasti akan menghancurkan atau melelehkan tangan yang memegangnya. Tetapi disinilah keajaiban tradisi ini memperliahtkan tuahnya. Karena orang yang benar – benar tidak bersalah akan bebas dari sengatan bara panas layaknya memegang benda biasa yang sejuk. Sebaliknya pihak yang bersalah pasti akan terbakar dan melalui itulah pihak yang bersalah akan terungkap.

Tradisi penyelesaian hukum cara Kajang ini mengandung makna bahwa sejatinya, manusia pada tingkat kebajikan dan kesempurnaan yang paling tinggi sekalipun tidaklah memiliki kewenangan menghukum sesama dan manusia tetaplah “Hitam” ( warna khas Kajang ).

Ini tentu sangat berbeda dengan sistem hukum dan peradilan modern yang dengan segala perangkat hukum, tersedia begitu banyak celah untuk menodai hukum itu sendiri. Sebagai contoh, apa yang disebut fakta hukum ataupun saksi – saksi dalam sebuah perkara semuanya masih bisa dimanipulasi. Hal itu disebabkan karena sistem hukum dan peradilan modern pada prakteknya diterapkan secara ekstrinsik. Pada praktek hukum dan peradilan ektrinsik, kemanusiaan tidaklah menjadi hal yang utama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar